83 research outputs found

    Denyut Kesenian Bali Di Tengah Geliat Globalisasi

    Get PDF
    Dunia cipta seni mengalir dan membuncah di Pulau Dewata. Ekspresi keindahan manusia Bali bertumbuh sejak dulu hingga kini. Bunga-bunga karya cipta para kreator seni masa lampu, kini menyemarakkan khasanah kesenian Bali. Seni pertunjukan dengan beragam bentuk, fungsi, dan maknanya hadir dan menyatu dengan sosio-kultural masyarakatnya. Sekarang, di tengah era globalisasi, jagat seni pentas tetap menggeliat. Simaklah pada 24-27 Mei lalu di ISI Denpasar. Puluhan seniman muda menguak menyajikan karya ciptanya yang sarat gereget, dinikmati penonton penuh antusias. Antusiasisme penonton dan apresiasi para pemerhati seni menyaksikan seni pentas besutan 53 orang seniman muda itu kiranya wajar. Sebab sajian pertunjukan dalam ungkapan seni tari, seni karawitan, dan seni pedalangan itu sejatinya memang dikonstruksi dengan mengerahkan segenap kemampuan masing-masing penggarap. Maklum, garapan seni pentas itu adalah karya tugas akhir--merupakan bagian dari pertanggungjawaban akademik--bagi para mahasiswa yang akan menamatkan pendidikan kesarjanaannya (S-1) di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. Generasi muda yang menekuni bidang penciptaan, dalam kesempatan itu, menunjukkan karyanya di depan para penguji dan masyarakat penonton

    Wedhus Gembel Halahala Mandaragiri

    Get PDF
    Bukan hanya gunung Merapi, Bromo, dan Anak Krakatau saja yang belakangan meletus. Sabtu (27/11) malam lalu, gunung Mandara juga meletus dahsyat. Yang mengerikan, wedhus gembel yang dimuntahkan gunung Mandara mengandung halahala yaitu racun yang mematikan. Racun yang dimuntahkan dari puncak gunung itu mengancam segala mahluk hidup. Tetapi masyarakat Jawa Tengah yang menyaksikan letusan gunung Mandara itu tampak tenang-tenang saja bahkan menikmatinya dengan rona suka cita. Meletusnya Mandaragiri itu adalah sebuah pementasan sendratari yang digelar di Pendhapa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah. Sendratari berjudul “Siwa Wisaya“ itu merupakan persembahan para mahasiswa ISI Denpasar yang disuguhkan sebagai penampilan pamungkas dalam pentas Mebarung Gong Kebyar Se-Jawa dan Bali yang diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Duel Gong Kebyar yang berlangsung dua malam, 26-27 Nopember lalu itu, menghadirkan empat grup Gong Kebyar yakni ISI Surakarta, ISI Yogyakarta, Puspa Giri Semarang, dan ISI Denpasar

    Pelangi Seni Budaya Di Tengah Badai Kekerasan

    Get PDF
    Bhinneka Tunggal Ika adalah sasanti negara Indonesia yang telah menyalakan api kesadaran masyarakatnya sebagai sebuah bangsa yang dirajut dari keberagaman. Sejak cikal bakal negeri yang disatukan dalam bentangan jambrut khatulistiwa ini bertumbuh, benih-benih perbedaan itu telah dikelola secara bijaksana. Perbedaan bukan dipandang dan ditakuti akan melahirkan perpecahan, namun sebaliknya menjadi dorongan yang bertenaga untuk bertemu, mengenal dan saling menerima. Namun, masih menyejukkankah rekatan Bhineka Tunggal Ika itu di tengah kecenderungan prilaku kekerasan yang mengusik kemajemukan masyarakat Indonesia belakangan ini? Sebuah karya seni pertunjukan mencoba menggugah masyarakat Indonesia tentang pentingnya makna sloka bhineka tunggal ika yang terpampang di kaki Garuda Pancasila lambang negara kita. Sebuah sendratari atau oratorium yang kisahnya diangkat dari zaman keemasan Majapahit disajikan di Jakarta pada Senin (21/3) malam lalu berkaitan dengan Dharma Santhi Nasional perayaan hari raya Nyepi tahun Saka 1933. Bertempat di Gor Ahmad Yani Mabes TNI Cilangkap, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar didaulat menyuguhkan seni pentas bertajuk “Purusadsantha”. Undangan kehormatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden Budiono, beberapa menteri, Ketua MPR Taupik Keimas, para duta besar, dan para tokoh agama tampak menyimak dengan tekun gelar seni yang berdurasi sekitar 45 menit itu. Demikian pula ribuan umat Hindu yang datang dari seluruh penjuru Jakarta menunjukkan antusiasisme sarat gairah menikmati dari menit ke menit sendratari yang menggunakan narasi bahasa Indonesia itu

    Pesona Kebyar Legong Seniman Paman Obama

    Get PDF
    Parade Gong Kebyar adalah pagelaran unggulan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sangat digandrungi masyarakat penonton. Seni pentas yang selalu mengundang heboh di arena PKB itu menampilkan tim kesenian duta masing-masing kabupaten/kota. Tapi kali ini, dalam PKB ke-32 yang baru saja usai, sekelompok penabuh dan penari warga Amerika Serikat, dihadirkan sebagai pendamping utusan Gong Kebyar Kabupaten Jembrana. Grup gamelan Dharma Swara yang bermarkas di New York mengundang decak kagum penonton dengan sajian tabuh Bangun Anyar, tari Kebyar Legong, tabuh kreasi Sikut Sanga, dan pragmen Pewayangan Sudamala. Kamis (8/7) malam itu, panggung terbuka Ardha Candra yang berkapasitas 5000 orang penuh sesak. Para penabuh Gong Kebyar Kabupaten Jembrana yang diwakili oleh insan-insan seni Desa Dauh Waru bersiap unjuk kebolehan berhadapan dengan para penabuh kulit putih dari Negeri Paman Sam. Hanya, jika para penabuh Kabupaten Jembrana semuanya laki-laki (karena memang merupakan parade Gong Kebyar katagori pria dewasa), sedangkan para penabuh New York terdiri dari campuran pria dan wanita. Para penabuh Dauh Waru tampil kenes dengan kostum warna merah kombinasi kuning dan para penabuh Dharma Swara tampil dengan baju biru dan udeng songket merah hati

    BANYUWANGI HORMATI EROTISME GANDRUNG

    Get PDF
    Tari Gandrung mungkin sudah identik dengan kawasan ujung timur pulau Jawa, khususnya Banyuwangi. Namun jika ditelusuri, seni pentas yang digolongkan sebagai tari pergaulan ini sebenarnya juga dapat dijumpai di pulau Lombok dan Bali. Keberadaaan kesenian ini di tengah budaya Jawa Timur, Bali, dan Sasak, hadir dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Hanya, jika di Banyuwangi tari Gandrung hingga kini masih bergelinjang mesra dan di Lombok tetap berlenggok riang, di Bali kesenian ini hampir punah. Seni pertunjukan sejenis Gandrung banyak dijumpai di Nusantara. Kesenian ini masih satu genre dengan Ketuktilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti tampak dalam tari Ronggeng di Jawa Barat dan juga Joged Bumbung di Bali

    Sendratari Bali Menyatukan Bangsa Indonesia

    Get PDF
    Sendratari merupakan nama seni pertunjukan yang sangat familiar di tengah masyarakat Bali. Adalah di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) pamor seni drama tari ini melejit. Sejak awal PKB, 1978, sendratari menjadi pagelaran bergengsi, membuka dan menutup pesta seni, hingga kini. Demikian pula pada PKB ke-33 tahun 2011 ini, pementasan sendratari kembali akan dapat disimak penonton. Tengoklah persiapannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sejak sebulan terakhir ini, lembaga yang dulu bernama ASTI dan STSI tersebut, telah melakukan latihan-latihan sendratari untuk ditampilkan pada pembukaan PKB tanggal 11 Juni nanti. Para seniman--mahasiswa dan dosen--lembaga seni ini akan menyuguhkan sendratari kolosal bertajuk “Bhisma Dewabharata“. Penonton tak hanya dapat mengapresiasi sendratari garapan ISI. Selain akan ditutup dengan sendratari besutan SMK Negeri 3 Sukawati (dulu Kokar-SMKI), duta kabupten/kota se-Bali juga telah mempersiapkan garapan sendratarinya. Sendratari masing-masing daerah tingkat II itu ditampilkan sebagai suguhan pamungkas Parade Gong Kebyar. Sendratari pendek dan padat yang disebut fragmen tari itu biasanya digarap dengan gereget sarat rivalitas karena dihadirkan dalam bentuk pentas bersanding alias mabarung. Karenanya, penggarapan dan pementasan sendratari kabupaten/kota itu menjanjikan kreativitas seni yang sangat diminati penonton pesta seni

    Ketika Dewi Sita Dikalahkan Luna Maya

    Get PDF
    Kelir (layar wayang) dibentangkan di sebuah bale-bale di tepi jalan umum di desa Sukawati, Gianyar. Malam itu, Selasa (12/10) lalu, dalang senior setempat, I Wayan Wija (60 tahun), tampil mementaskan wayang kulit berkaitan dengan odalan sebuah pura. Ketika malam telah menjelang, belencong (lampu wayang) dinyalakan dan gamelan gender ditabuh empat orang pengerawit. Tak tak tak, cepala (dijepit pada jemari kaki kanan dalang) menghentak-hentak menggarisbawahi tuturan kisah yang diangkat dari epos Mahabharata. Tapi, sungguh menyedihkan. Pementasan wayang itu hanya disaksikan segelintir penonton. Tahun 1970-an, pementasan wayang kulit masih mengundang takjub. Saat itu, sebuah rencana pagelaran teater wayang merupakan kabar yang menggembirakan yang pementasannya ditunggu-tunggu khalayak banyak. Para penonton menyaksikan dengan penuh perhatian keseluruhan proses dan detail pementasan, baik yang disajikan dalam konteks ritual keagamaan maupun pertunjukan wayang dalam ajang profan. Bagaimana aksi dalang di balik layar dalam meragakan boneka pipih dua dimensi itu tak luput dari perhatian penonton. Bagaimana asyiknya penonton menyimak adegan demi adegan sepanjang 3-4 jam dan kemudian mendiskusikan seusai pementasan, menunjukan begitu karismatiknya kesenian yang diduga sudah mempesona penonton pada zaman Airlangga, abad ke-11 itu

    Lantunan Gamelan Cinta Wanita Bali

    Get PDF
    Belakangan, gamelan tidak tabu lagi dimainkan kaum wanita Bali. Tengoklah betapa maraknya pemunculan grup-grup gamelan ibu-ibu yang marak akhir-akhir ini. Panggul (alat pemukul gamelan) yang sebelumnya hanya dimonopoli oleh kaum pria itu, kini kian lincah diayun oleh para wanita Bali, saat mereka meniti nada-nada gamelan. Simaklah pada Sabtu (19/2) malam di Wantilan Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Sekelompok penabuh wanita memukau perhatian masyarakat setempat yang sedang menggelar piodalan. Sungguh mengundang takjub, sekumpulan penabuh wanita berbusana kebaya pink itu, dengan penuh percaya diri, tampil secara mebarung alias pentas bersanding dengan para penabuh pria. Para penabuh wanita itu seakan tak mau kalah keterampilan dan penampilan saling unjuk tabuh-tabuh petegak (konser). Bukan hanya itu. Pada pementasan inti, berhadapan dengan para penabuh pria yang lainnya, grup penabuh wanita tersebut saling berbalas mengiringi aneka tari klasik dan kreasi. Penonton berdecak dan berkali-kali memberi aplous terhadap sajian 25 orang penabuh wanita itu

    Ni Cenik Berpulang, Joged Pingitan Terjengkang

    Get PDF
    Seorang nenek renta warga Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, meninggal pada 24 Juli lalu. Berdasarkan adat setempat, wanita yang berhasil menapak usia 88 tahun itu kemudian dikebumikan. Dadong Cenik, demikian masyarakat setempat menyebutnya, kembali bersatu dengan tanah tempat kelahirannya, menanti hari baik untuk diaben. Lahir, hidup, mati, adalah sebuah kodrati, peristiwa alamiah. Karenanya, prosesi upacara penguburan mayat Ni Ketut Cenik itu pun menjadi peristiwa biasa dan berlangsung biasa saja, seturut dengan kelaziman di desa itu. Padahal, Ni Cenik bukan wanita biasa. Cenik adalah seniwati unik yang tak ada duanya di Bali. Wanita yang sepanjang hidupnya berserah diri untuk dunia seni tari ini telah mengharumkan nama Bali hingga ke manca negara. Terakhir, tahun 2008 lalu, seniwati kelahiran 1922 ini, memukau penonton Negeri Sakura. Bersama grup gamelan Joged Pingitan Banjar Pakuwudan, Sukawati, ia menari solo mengisahkan cerita Calonarang. Kendati sepuh, Cenik selalu bersemangat. Energinya membuncah bila sedang menari, baik saat ngayah di pura maupun bila diundang pentas di luar negeri

    NGELAWANG TERGUSUR, INDUSTRI PARIWISATA TERGIUR

    Get PDF
    Arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu, dimeriahkan oleh penampilan puluhan Barong utusan kabupaten/kota se-Bali.. Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Ket atau Ketet, Barong Landung, Barong Kedingkling atau Blasblasan dan beberapa jenis Barong lainnya, disamping dipentaskan di atas panggung juga menyusuri ruang dan lorong-lorong yang ramai pengunjung. Ngelawang, demikian seni pentas nomaden ini disebut yang lazim dihadirkan saat ritus dan perayaan hari besar keagamaan seperti Galungan dan Kuningan. Masih eksiskah tradisi itu kini? Ngelawang telah tergerus. Ketika tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya pulau Bali ini. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian puspa ragam seni yang membuncah dalam pentas ngelawang itu. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni tersebut mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya. Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-relegi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang ganjing, gunung meletus, laut mengamuk, hutan terbakar, dan banjir menerjang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai. Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim yang bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui sebuah pertempuran yang dahyat Dewa Indra berhasil membinasakan si angkara murka Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat. Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 20 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang adalah wahana pelestarian dan pengembangan nilai-nilai estetis nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang adalah hasrat sukmawi masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama. Ketenteraman hidup itu tak hanya yang bersifat lahiriah namun juga yang transendental, keduanya harus dirawat. Ketika kedamaian dharma hari suci Galungan-Kuningan sedang berdesir, tradisi ngelawang berperan serta untuk merawat kehidupan, merawat kerukunan sesama, merawat alam lingkungan, dan merawat harmoni dengan yang menciptakan kehidupan ini. Namun pergeseran nilai rupanya harus mencabik energi budaya yang memiliki aspek spiritual, seni dan hiburan ini. Ngelawang kini kian menepi. Fenomana kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional dalam berbagai aspek. Atmosfir masyarakat agraris tradisional dengan kekentalan psiko-religiusnya mungkin memang kontekstual dengan persemaian yang kondusif bagi eksisnya tradisi ngelawang pada masa lalu. Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik daun. Pamor tradisi ngelawang dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang bimbang di persimpangan zaman dalam guncangan dahsyat modernisasi. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam PKB, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional romantis sesaat bagi generasi yang pernah mengenal tradisi ini. Justru saat Galungan-Kuningan ini, dengan hasrat komoditifikasi, ngelawang dikemas industri pariwisata di hotel-hotel dan objek-objek wisata komersial. Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tereduksi. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mengoyak tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang tergusur, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat, pada tahun-tahun belakangan ini jagat seni pertunjukan Bali pada umumnya memang sedang berkeluh kesah. Oleh karena itu, dapat dipahami bila belakangan para pegiat seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang. Jika kegamangan itu semakin akut mendera kehidupan berkesenian secara umum, tentu ini adalah alamat buruk bagi eksistensi nilai-nilai kasih tenteram yang dipancarkan oleh spiritualitas, kejujuran serta kebenaran, dan keindahan jagat seni. Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini. Namun jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan-pesan moral dalam ekspresi keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu
    corecore